Afbeelding auteur

Putu Wijaya

Auteur van Telegram

33 Werken 60 Leden 3 Besprekingen

Werken van Putu Wijaya

Telegram (2011) 13 exemplaren
Perang (1990) 5 exemplaren
Nyali (1983) 3 exemplaren
Stasiun (2005) 2 exemplaren
Uap (1999) 2 exemplaren
Protes (1994) 2 exemplaren
Byar pet (1995) 2 exemplaren
Darah (1995) 2 exemplaren
Kroco (1995) 2 exemplaren
Zat (1996) 2 exemplaren
Pol (1987) 2 exemplaren
Teror (Seri pustaka prosa) (1991) 2 exemplaren
Blok (1994) 1 exemplaar
Aduh 1 exemplaar
Aum: tontonan 1 exemplaar
Tidak : kumpulan cerpen (1999) 1 exemplaar
Dar-der-dor (1996) 1 exemplaar
Telegramm (2015) 1 exemplaar
Putri (2004) 1 exemplaar
Putri (2004) 1 exemplaar
Gerr 1 exemplaar
Tulalit (2004) 1 exemplaar
Tiba-Tiba Malam (2005) 1 exemplaar
Protes 1 exemplaar
Aus (1996) 1 exemplaar
Zig zag: Kumpulan cerpen (1996) 1 exemplaar
BOR: Esai-esai budaya (1999) 1 exemplaar
Merdeka 1 exemplaar
Gres 1 exemplaar

Tagged

Algemene kennis

Er zijn nog geen Algemene Kennis-gegevens over deze auteur. Je kunt helpen.

Leden

Besprekingen

Cerdas dan mendebarkan, itu adalah kesan saya setelah membaca kumpulan cerpen ini. Berisi 17 cerita pendek tentang keluarga, hubungan antar manusia, dan kegilaan masyarakat, cerpen-cerpen Putu Wijaya di dalam Gres tak lupa mencerminkan kehidupan sehari-hari yang sarat makna. Satir tentang kegelisahan dalam diri manusia juga dengan mudah dibaca secara tersirat dari cerita-cerita di dalam buku ini. Favorit saya adalah cerpen Aktor dan Moh.
 
Gemarkeerd
awwarma | Jan 24, 2024 |
"Seorang anak lahir, sehat dan memberikan kesenangan juga membutuhkan sebuah telegram. Beribu-ribu orang mati juga menghasilkan telegram."

Telegram adalah novel yang mengkritik kehidupan para lelaki bajingan di dunia, dan yang paling bajingan adalah si Aku, mati-matian ingin jadi pahlawan saat kenyataannya dia hanyalah wartawan kebingungan menderita penyakit kelamin.
Novel berlatar tahun 70-80an, era ketika kabar cepat dan mendadak hanya disampaikan dengan telegram karena mendesak.

Telegram membawa momok besar bagi si Aku, karena menurutnya hanya kabar mengerikan yang disampaikan telegram. Kabar tersebut selalu menyudutkannya. Sesuai dengan latar belakang Putu Wijaya, si Aku adalah pria Bali yang merantau ke Jakarta menjadi wartawan. Dia membawa semua amarahnya karena kungkungan adat Bali dan kritik untuk pembangunan Pulau Dewata, menjadikannya selalu melawan dan melawan.

Si Aku selalu berkata kemajuan Bali dengan wisatanya masih saja berputar2 seperti masalah adat istiadatnya yang membelenggu, tapi setelah membaca buku ini menurutku sebagai pembaca, si Aku juga terbelenggu rasa perlawanannya, tidak menyadari dia juga hanya berputar2. Si Aku memiliki pacar yang dipacarinya selama tiga ribu kali. Dia mengatakan setelah lebih dari itu rasanya sudah berbeda dan perlahan berubah menjadi benci, hingga akhirnya dia sadar PACARNYA HANYALAH HALUSINASINYA.

Dia berpacaran dengan sosok bayangan karena si Aku itu gila. Si Aku bujang, tapi mengangkat anak pungut jadi anaknya yang memanggilnya papa. Lambat laun si Aku yang bajingan ini ternyata hanya ingin menjadi sosok pahlawan, memiliki sosok yang bergantung dan berutang budi kepadanya. Si Aku melawan, tapi si Aku kesepian. Kegilaannya adalah bentuk depresinya.

Di akhir buku dia menyadari, keinginannya bunuh diri hanyalah bentuk lain dari sifat pengecutnya. Dia tidak kuat, dia lemah, dia manja, dia tidak bisa mengambil keputusan apapun, termasuk kapan mengakhiri hidupnya. Namun, perjalanan hidup si Aku menjadi lebih baik. Momoknya terhadap telegram berubah saat dia menyadari jika ada kematian akan ada kehidupan. Cara Putu Wijaya menutup cerita dengan sosok Aku berbicara dengan masa lalunya dan menganggap ide mengakhiri hidup sebagai hal membosankan terasa begitu apik dan menyegarkan.

Kritik terhadap Bali adalah kekuatan kedua Telegram. Sangat menyenangkan membaca karya sastra Indonesia membawa kritik sosial terhadap pembangunan di luar Jawa.

"Kami selalu mengejek mereka sebagai orang kampung. Tetapi ternyaya mereka lebih bisa menikmati uangnya, persaudaraannya, daripada kami yang tinggal di kota-kota di Bali, yang maju tidak, mundur juga tidak."

"Bayang-bayang tentang Bali, baik sebelum atau sesudah disaksikan sendiri oleh para pelancong, biasanya sedikit melupakan, bahwa Bali bukan hanya Denpasar dan Ubud; bukan hanya rentetan upacara-upacara dan tarian-tarian yang magis dan enerjik. Bali adalah juga kedelapan buah kabupatennya, seluruh penduduknya, kemiskinan dan tuntutan-tuntutannya, kebutuhan-kebutuhannya untuk memasuki zaman dengan segala perubahannya. Karena kalau tidak demikian, ia hanya akan merupakan sebuah musium atau pertunjukan sandiwara."

Dalam buku ini si Aku memimpikan meniduri ibunya sendiri. Jika sudah membaca karya2 Putu Wijaya yang lain, dia beberapa kali menyinggung incest seperti di Putri atau Pabrik. Menurutku, incest menjadi simbol hasrat terbelakang yg masih menghantui warga Bali.

Kemagisan Putu Wijaya terasa ketika dia menuliskan beberapa kalimat seperti:

"Betul-betul cinta kami bukan hanya pelampiasan berahi."

"Lebih enak jadi orang awam saja, yang berlumuran dengan segala kemungkinan."

"Aku seperti terbakar oleh sepi."

"Ajaib, setelah tiga ribu kali pacaran, ia hidup dan lepas."

"Rasanya seperti memasuki kematian."
… (meer)
 
Gemarkeerd
awwarma | Jan 24, 2024 |
“Kehidupan adalah perjalanan panjang melintasi stasiun-stasiun asing yang tak putus-putusnya.”

“Barangkali perjalanan ini akan panjang sedemikian rupa dengan banyak soal-soal yang tak disukainya. Lalu timbul pertanyaan-pertanyaan yang aneh. Seakan-akan ia tidak tahu dengan pasti apa sebetulnya yang sedang terjadi. Ini menyedihkan. Ia pun tak pasti lagi terhadap keputusan-keputusan yang telah diambilnya. Ia tegak di situ, digerayangi oleh kebimbangan.”

“Ia memang tidak lebih dari sampah.”

“Barangkali ia harus belajar menikmati kekalahan dari segi yang lain — kalau ia memang benar-benar kalah.”

“Seandainya memang damai saja sudah cukup.”

“Tiba-tiba ia terkejut, mungkin juga anak itu bagian dari masa mudanya.”

Stasiun bercerita dengan premis awal kebimbangan manusia dalam menjalani kehidupan, berhenti di satu stasiun dan stasiun berikutnya. Sesuai dengan pernyataan Putu Wijaya pengarang buku ini, dia memaknai kehidupan adalah perjalanan panjang melintasi stasiun-stasiun asing yang tidak pernah putus. Namun, saat kita menunggu kereta di stasiun, ke mana sebenarnya kereta yang kita tunggu itu? Kita bisa memilih kereta yang membawa kita ke stasiun berikutnya, atau terus saja, pulang.

Pemaknaan dari novel pemenang DKJ 1975 ini sangatlah filosofis, tanpa membawa melankoli sejarah atau benturan kultur yang dahsyat, Putu Wijaya bak menampar pembacanya, seorang manusia, bahwa hidup tidak lebih dari satu kebimbangan dan kebimbangan lain, atau sejatinya, hidup hanya menunggu kereta kematian menjemput.

Dalam perjalanan kita akan dipertemukan dengan orang-orang yang tidak terduga, yang membuat emosi dan perasaan kita naik turun. Semua itu bagian dari kehidupan, menentukan arah langkah kita berikutnya. Pun dalam perjalanan kita akan sering mengalami kondisi yang dialami Lelaki Tua, tokoh utama novel ini: tidak ikhlas, malu, merasa hidupnya direnggut orang lain, lebih-lebih harga dirinya. Saat dia berusaha meraih apa yang sebenarnya bisa dia raih, dia baru menyadari bahwa langkahnya tanpa tujuan dan hanya untuk menyenangkan egonya, sampai Lelaki Tua merasa apa yang dilakukannya hanya sia-sia saja.
… (meer)
 
Gemarkeerd
awwarma | Jan 24, 2024 |

Statistieken

Werken
33
Leden
60
Populariteit
#277,520
Waardering
3.8
Besprekingen
3
ISBNs
27
Talen
4

Tabellen & Grafieken